Friday, December 21, 2007

Sekilas Tentang Motekar

20 tahun yang lalu boleh jadi cuma segelintir orang saja yang mengenal nama Jatinangor. Kota kecamatan yang menjadi tapal batas antara Kab Sumedang dan Kab Bandung ini tak mempunyai makna lain selain daerah perlintasan kendaraan-kendaraan dari arah Bandung menuju kota-kota di Jawa Tengah. Hingga kemudian sebuah kebijakan baru ditempuh oleh pemerintah untuk menjadikan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan. Kini empat perguruan tinggi telah berdiri dengan kokoh di tanah Jatinangor.

Arus kedatangan para mahasiswa dari berbagai penjuru negeri semakin menuntut percepatan pembangunan di berbagai sektor yang dipandang penting sebagai pendukung kawasan pendidikan. Migrasi besar-besaran para calon cerdik cendekia inipun tak urung mengubah wajah Jatinangor. Lahan pesawahan telah disulap menjadi mall dan super market, ladang-ladang masyarakat berganti deretan bangunan-bangunan kontrakan para mahasiswa yang pembangunannya tak terkendali dan cenderung liar. Pertimbangan-pertimbangan terhadap dampak lingkungan dan tatanan sosial kemasyarakatan tak lagi diindahkan. Belum lagi beberapa bangunan non permanen yang dibangun oleh komunitas-komunitas pedagang kian mengurangi nilai estetik kawasan Jatinangor.

Selain permasalahan krisis lingkungan, hal yang mengemuka lainnya adalah permasalahan krisis budaya yang di dalamnya termuat unsur-unsur seni dan tradisi kemasyarakatan. Bak Kabayan yang linglung di tengah hiruk pikuk Metropolitan, Jatinangor kini tengah terserang geger budaya akut. Beberapa benturan peradaban kini melanda masyarakat Jatinangor. Ribuan masyarakat pendatang dengan segala atribut budaya yang mereka kenakan perlahan namun pasti mulai menggerus budaya asli Jatinangor. Nilai-nilai khas masyarakat agraris yang sangat mengedepankan toleransi dan tepa selira kini mulai mengabur. Kecintaan masyarakat Jatinangor terhadap berbagai bentuk seni tradisipun tak mampu lagi ditularkan pada generasi-generasi selanjutnya.

Beberapa upaya telah coba ditempuh oleh para individu maupun komunitas-komunitas seni dalam proses pelestarian seni tradisi di wilayah Jatinangor dan sekitarnya. Adalah Supriatna, sesepuh Sanggar Seni Motekar yang tanpa kenal lelah terus menerus mengkampanyekan gairah seni dan budaya ke seluruh penjuru Jatinangor. Bersama karib sesama seniman serta dukungan dari beberapa kepala desa, Supriatna memohon perhatian lebih dari pemerintah Kab. Sumedang terhadap kelangsungan seni dan budaya di Jatinangor. Bahkan pihak kampuspun tak luput dari ajakan para seniman. Namun apa daya, dengan bijak para akademisi hanya mampu menyatakan kesanggupannya menampung aspirasi masyarakat Jatinangor tanpa berkemampuan lebih untuk merealisasikan aspirasi-aspirasi tersebut. Hingga pada tahun 2004 usaha Supriatna dan kawan-kawan akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah Kab Sumedang mencoba meredakan kegelisahan para seniman dengan mendirikan Saung Budaya Sumedang atau yang lebih dikenal dengan sebutan SABUSU. SABUSU merupakan ruang publik yang didesain sebagai ruang bagi para penggiat seni untuk berkegiatan dan memamerkan hasil karyanya kepada khalayak.

Sayang, pihak swasta yang dipercaya mengelola SABUSU dengan mengatasnamakan beberapa unsur terkait di dalamnya seperti Dinas Pariwisata dan Budaya, Departemen Pertanian, Dep Kehutanan, Dep Industri, serta Dinas Koperasi, ternyata menempuh langkah-langkah yang menyimpang dari tujuan utama pendirian SABUSU sebagai wadah kreatifitas Seni. SABUSU lebih difungsikan sebagai lahan berorientasi profit. Demi untuk memanjakan pengunjung, diantara beberapa ruang etalase benda seni dibangun pula ruang bilyard lengkap dengan Mini Bar. Kondisi inilah yang kemudian memancing timbulnya fenomena-fenomena negatif seperti prostitusi dan narkoba. Bahkan beberapa seniman yang sempat menjadikan SABUSU sebagai markas berlatih mereka memutuskan untuk angkat kaki dari tempat yang pembangunannya konon menghabiskan dana sebesar 1,5 milyar rupiah itu.

Keterpurukan SABUSU tidak lantas melunturkan semangat para seniman Jatinangor. Supriatna ditemani Dedep, Kepala Desa Sayang Kec. Jatinangor terus bergerilya menyiasati perkembangan seni di Jatinangor. Lewat ide mereka berdua kemudian tercetuslah pendirian Dewan Kesenian Jatinangor (DKJ) yang tujuan utamanya adalah memfasilitasi daya kreasi para penggiat seni di Jatinangor. Lewat perjuangan tanpa lelah akhirnya DKJ mendapat restu dari pemerintah Kab. Sumedang dan dideklarasikan secara resmi oleh Don Murdono selaku Bupati Kab. Sumedang pada tanggal 4 Desember 2004. Saat itu pula disyahkan struktur kepengurusan DKJ yang diketuai Supriatna dengan keanggotaan yang melibatkan beberapa aktor kampus seperti Ariyudi dosen Unwim dan Eri Fahri dosen Ikopin. Ironisnya, UNPAD yang notabene merupakan Universitas Negeri sekaligus ikon Jatinangor justru tidak terlibat di dalamnya. Entah kenapa UNPAD yang kala itu masih dipimpin oleh Himendra selaku rektor, seakan abai pada perkembangan Jatinangor. Padahal seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya di UNPAD terdapat jurusan Sastra Sunda yang tentunya mempunyai kedekatan dengan dunia seni dan budaya sunda.

Selepas pendeklarasian DKJ, angin segar belum juga berhembus di bumi Jatinangor karena ternyata pertemuan Sang Bupati dengan para seniman di Jatinangor saat itu adalah pertemuan terakhir. Tak ada lagi dialog diantara orang nomor satu di Sumedang itu dengan masyarakat seni Jatinangor, alhasil atmosfir seni di Jatinangorpun kembali menipis. Namun perjuangan belum berakhir, kehidupan berkesenian di Jatinangor harus terus dipertahankan.

Adalah Sanggar Motekar, komunitas seni yang beraktifitas sejak tahun 80-an itu hingga kini masih setia menjaga eksistensi seni tradisi kesundaan di Jatinangor. Di tempat inilah sterilisasi budaya kaum muda Jatinangor dalam rangka mengcounter serbuan budaya luar terus menerus diupayakan. Di rumah milik seorang mantan kepala sekolah SD ini pula kegelisahan-kegelisahan seputar perkembangan Jatinangor terus diwacanakan. Maka tak heran jika setiap harinya rumah milik Supriatna tak pernah sepi dari kunjungan, baik sekadar sowan antar sesama penggiat seni maupun kunjungan-kunjungan dari beberapa mahasiswa dan kaum jurnalis yang membutuhkan rekan berdialog tentang Jatinangor dan atmosfir budaya yang melingkupinya.

Sanggar Motekar didirikan 20 tahun yang lalu, ketika Jatinangor masih tampil dengan keeksotisannya. Satu masa dimana geliat berkesenian masih tampak kontras mewarnai keseharian masyarakat Jatinangor. Bersama dua orang putri yang mewarisi kecintaan sang ayah terhadap seni budaya sunda, Supriatna kerap mengajak masyarakat desa Sayang dan sekitarnya untuk berlatih kesenian-kesenian sunda. Supriatna bahkan merelakan rumah dan tanah pekarangannya yang hijau untuk dijadikan lahan berkesenian masyarakat Jatinangor. Sebuah panggung kecil yang berdiri kokoh di tengah pekarangan rumahnya seakan tak henti menyemangati para penggiat seni untuk terus berlatih dan berkarya.

Semenjak pertama kali menjejakkan kaki di tanah Jatinangor untuk mendedikasikan dirinya dalam dunia pendidikan dan pengajaran, Supriatna kontan jatuh cinta dengan Jatinangor beserta segala ornamen di dalamnya. Lelaki yang lahir di Panyingkiran, kurang lebih 1 km dari pusat kota Sumedang 55 tahun yang lalu ini, bahkan memahami karakter lingkungan dan masyarakat Jatinangor melebihi pemahaman para penduduk Jatinangor sendiri. Hal itu dimungkinkan berkat ketekunannya mencermati setiap gejala sosial yang timbul di Jatinangor dengan penuh ketelatenan. Kepekaan rasa yang dianugerahkan Sang Khalik dalam dirinya membuat kakek empat orang cucu ini terlihat semakin tajam membedah aneka fenomena yang terjadi di Jatinangor. Dan bersama para anggota sanggar Motekar setiap harinya Supriatna berjuang memutar otak, mencari solusi terbaik untuk kemajuan Jatinangor.

Berbeda dengan sanggar-sanggar seni lainnya (penulis menyebutnya Makelar Seni), Sanggar Motekar tidak hanya menyediakan perangkat pagelaran untuk event-event yang profitable, melainkan juga melakukan riset dan penggalian yang disertai pendokumentasian artefak-artefak seni di Jatinangor. Kehadiran beberapa kawan mahasiswa secara individu (tidak mengatasnamakan kampus) di sanggar Motekar semakin mempersolid kinerja seluruh perangkat sanggar. Alhasil, beberapa bentuk seni tradisi dan handycraft khas Jatinangor yang hampir punah seperti Cikeruhan, Gotong Domba, dan Gambar Tempel berhasil diselamatkan dari kepunahan. Dan dalam rangka menjaga kelestarian kesenian tradisi pulalah, Sanggar Motekar melakukan pelatihan kesenian secara rutin terhadap kaum muda Jatinangor yang masih memiliki kecintaan terhadap seni tradisi.***(RBM)